Nama
Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Copa de Flores" yang berarti
" Tanjung Bunga". Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut
wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai
sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer.
Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad.
Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.
Sejarah
masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai
kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap
dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota
masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari
sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996)
adalah sebagai berikut:
• Etnis Manggarai - Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen);
• Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
• Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
• Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);
• Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Masyarakat
Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman
reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran
wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi
pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat
Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.
Masyarakat
Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari
enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai
adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional
Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente),
yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir,
Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar,
Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar,
Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae,
Lo'o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno
mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana
nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya
turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan
purbanya serta titisannya.
Manggarai (termasuk Manggarai Barat) Sampai Abad XIX
Seperti
daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari
orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda
dan sebagainya.
Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di
seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan
ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang
cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari
benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari
Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.
Jawa
Pengaruh
Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225
telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos
mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di
beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.
Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan
Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya
menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai.
Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya
di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada
budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam
peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah
tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan
di Sulawesi Selatan.
Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa
dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan
kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul
pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di
Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang
dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian
melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi).
Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal. Tetapi dalam perang Weol II dan
Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo.
Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya
pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun
1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905
dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai,
membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di
bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan
1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat
perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan
dikuburkan di Compang Mano.
Selain Kesultanan Goa dan Bima,
Kerajaan
lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan
Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada
saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa
adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit
untuk didapatkan.
Belanda.
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3
kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun
1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya
sekolah-sekolah dan agama Katolik.